Rabu, 02 Januari 2013

Revolusi Ilmiah


Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu peristiwa monumental yang menandai lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains moderns sebagai sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi sains, salah satu pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa Revolusi Ilmiah tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa kejayaan berabad-abad sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka?
Bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan) yang memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu dipahami. Pertama adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah. Yang kedua adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam yang tidak memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan kedua hal ini sedikit ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana sains modern dan Islam kontemporer bertemu.
Ada beberapa tesis yang kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa. Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya kekuasaan agama dalam sistem sosial politik yang memungkinakn sains lepas dari kungkungan institusi agama. Telah banyak diketahui bahwa pada abad 16 dan 17 ketika era Renaissannce, agama sebagai institusi yang sangat dominan dan hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi lepasnya sains dari otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo Olschki, terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan ilmiah ke dalam bentuk utilitas teknis. Menurut Hessen keberhasilan sains moderen di abad 16 dan 17 didorong oleh runtuhnya sistem ekonomi feodal yang digantikan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Secara spesifik, Hessen merujuk perkembangan ilmu fisika pada saat itu sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri dan peperangan. Dari catatan-catatan sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan sains moderen di Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh oleh Sandra Harding, sains moderen telah menjadi kendaraan bagi praktek hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.
Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak tidak pernah ada sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi.  Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.
Lalu mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan kontinyuitasnya, gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami penurunan? Salah satu tesis yang menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.
Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah krusial gagalnya sains Islam dalam mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan. Karena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar